Friday, November 16, 2012

Cerita Menarik & Lucu Dibalik Pertempuran Heroik 10 Nopember 1945 Surabaya (Tamat)




Mari kita lanjut kecerita selanjutnya, session terakhir. Bagi yg belum membaca session kelima, bisa klik disini...

Lanjut...

Kisah#15: Trial and Error Saat Mencoba Senjata
Senjata-senjata (api) yang dimiliki oleh elemen-elemen bersenjata di Surabaya saat itu sebagian besar adalah hasil rampasan senjata Jepang. Senjata-senjata itu, termasuk mortir, meriam, dan panser, merupakan modal besar dalam mempertahankan kemerdekaan, bukan hanya di Surabaya dan Jawa Timur namun juga di daerah lain seperti Jakarta, Bandung, dan Jawa Tengah yang mendapat kiriman senjata rampasan dari Surabaya.

Namanya juga senjata hasil rampasan yang dirampas dalam suasana kacau balau, kualitas dan jenisnya macam-macam. Persoalan lain, seringkali banyak ketidaksesuaian antara suatu jenis bedil atau senjata dengan amunisi yang tersedia. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika terdengar teriakan seperti ini: ”Pelurune kok kegeden? Gak iso mlebu nang bedilku !?” (Peluruku kok kebesaran? Tidak bisa masuk ke dalam bedilku nih!” yang terkadang disahuti oleh yang lain: ”Walah, peluruku malah kecilik’an, lodhok iki”. (walah, malah peluruku kekecilan, jadi longgar ini.). Kalau seperti itu, diantara mereka kemudian saling mencoba untuk mengetahui peluru apa cocoknya ke senjata mana.

Itu baru soal kesesuaian antara jenis peluru dengan bedilnya. Belum lagi soal mempergunakan senjata. Ini persoalan lain lagi. Selain TKR dan Polisi Istimewa, praktis elemen-elemen bersenjata arek-arek Suroboyo adalah milisi yang belum mahir dalam mempergunakan senjata. Namun karena keterbatasan waktu dan tenaga, sulit juga untuk mengadakan semacam short course cara penggunakan senjata yang baik dan benar. Terpaksalah para pejuang itu belajar sendiri, dengan cara trial and error, cara mempergunakan senjata seperti bagaimana cara membidik yang tepat agar sasaran bisa dikenai.

Hal ini terus berlangsung bahkan saat pertempuran besar sudah terjadi. Akibatnya seringkali hal ini menimbulkan insiden yang mengenaskan seperti saat teman seperjuangan dihujani mortir hanya karena keliru menghitung sudut elevasi tembakan. Namun terkadang juga muncul hal-hal lucu seperti panser yang disetir dengan gaya orang mabok atau seperti yang diceritakan oleh salah satu pejuang disela-sela istirahat.

“Aku mau nembak tentara Inggris, pas kenek ndase. Langsung matek tentara iku” (Aku tadi menembak tentara Inggris, tepat kena kepalanya. Langsung mati tentara itu) kata pejuang muda itu dengan bangga. Teman-teman yang lain menimpali dengan rasa kagum. “Hebat awakmu saiki, wis iso nembak titis. Angel lho nembak pas kene ndase iku” (Hebat dirimu sekarang, sudah bisa menembak dengan jitu. Susah lho menembak dengan tepat di bagian kepala.).

Tapi apa jawaban pejuang pertama tadi. ”Sak jane sih, aku mau ngeker dodone supoyo luwih gampang ditembak, tapi kok kenek ndase? Yo wis, kebetulan !” (Sebenarnya sih, aku tadi mengincar dadanya agar lebih mudah ditembak, tapi kok kena kepalanya? Ya sudah, kebetulan !”) Maka meledaklah tawa diantara sesama pejuang. 

Begitulah arek-arek Suroboyo, meski suasana perang, selalu ada waktu riang dengan berkelakar diantara mereka.

= = =

Kisah#16: Transformasi dari Pengasuh Pondok Pesantren menjadi Komandan Pasukan Tempur
Masyarakat Surabaya khususnya, dan Jawa Timur sebagian besar adalah muslim yang berorientasi ke Nahdlatul Ulama (NU). Semasa perang heroik 10 Nopember 1945, peranan warga dan kyai-kyai NU sungguh luar biasa, bertarung bahu-membahu dengan komponen-komponen bangsa Indonesia lain yang ada di Surabaya.

Pada saat situasi di Surabaya kian genting dan ibu pertiwi telah memanggil putra putrinya untuk mempertahankan kehormatan dan kemerdekaan bangsa, para kyai NU merasa terpanggil untuk turut memberikan sumbangsihnya. 

Serangkain pertemuan digelar oleh para kyai sepuh (sebutan khas dikalangan NU yang merujuk pada kyai-kyai berpengaruh dan sangat disegani) yang berujung pada satu tekad: lawan Inggris atau siapapun yang berniat menjajah kembali Indonesia.! Sebagai perwujudan tekad para kyai dan warga NU, maka pada tanggal 23 Oktober 1945, Mbah Hasyim atas nama PB NU mendeklarasikan Resolusi Jihad untuk melawan pasukan penjajah.

Resolusi Jihad ini seperti menyiramkan minyak ke api perlawanan rakyat yang sudah menyala. Dampaknya luar biasa. Pesantren-pesantren dan forum-forum pengajian berubah lebih banyak mengajarkan penggunaan senjata dan bela diri. Para pengasuh pondok pesantren juga mengajar ilmu kesakten kepada para pejuang lainnya yang datang ke pondok-pondok pesantren. Ribuan kyai, ustadz, dan santri dari pelbagai penjuru Jawa Timur dan Madura meninggalkan pesantren-pesantren mereka dan mulai bergerak menuju Surabaya untuk turut menjadi pagar bangsa menghadapi musuh yang kian nyata hendak menjarah hak dasar bangsa Indonesia: Kemerdekaan. Sementara mereka yang tidak mempunyai kesempatan turut langsung ke Surabaya, berusaha ikut melawan di daerah masing-masing dengan misalnya merampas logistik untuk Inggris, dan kemudian mengoperkannya ke para pejuang, atau mengirimkan bahan-bahan pangan agar para pejuang tidak kelaparan saat bertaruh nyawa melawan pasukan Inggris. 

Para santri dan kyai itu bergabung dalam pelbagai elemen perlawanan bersenjata. Ada yang bergabung dalam pasukan Hizbullah, Sabilillah, atau bergabung dalam pasukan reguler lainnya. Sebagai komandan umum laskar NU/pesantren adalah KH. Wahab Chasbullah, yang sehari-harinya adalah pengasuh pondok pesantren. Entahlah, apa yang ada dalam pikiran para Jenderal dan komandan pasukan Inggris kalau mereka tahu bahwa laskar dan berikut para komandan di pihak Indonesia sebagian besar adalah benar-benar warga sipil yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman tempur sama sekali.

Meskipun para santri dan kyai-kyai tersebut sangat minim dalam hal pengalaman dan teknik bertempur, keberanian mereka jangan disangsikan. Mereka sungguh ikhlas dan tuntas dalam berjuang. Gelegar suara bom dan mortir, deru deram tank-tank, dan desingan peluru pasukan Inggris dibalas dengan teriakan takbir yang membahana sembari mengacungkan-acungkan senjata agar para pejuang jangan gentar sedikitpun. Cara bertempur seperti ini justru membuat pasukan India Muslim (yang kemudian menjadi Pakistan) dari pihak Inggris menjadi gagap dan gelagapan. Mungkin mereka menghadapi perang batin yang luar biasa karena yang mereka hadapi adalah saudara muslim mereka yang tengah berjuang mempertahankan haknya. Tidak sedikit diantara pasukan India Muslim ini memberikan senjata dan amunisi kepada para pejuang atau bahkan meninggalkan gelanggang pertempuran untuk menghindari bentrokan dengan arek-arek Surabaya..

= = =

Kisah#17: Bantuan dari Daerah Sekitar
Berikut ini penuturan dari salah satu anggota TRIP di Madiun. Waktu itu pemuda-pemuda Madiun juga ikut terpanggil untuk berangkat ke Surabaya untuk melawan Sekutu. Tapi sayang beliau ngga boleh ikut berangkat ama komandannya karena punya tanggung jawab jaga gudang amunisi (karena rumahnya paling deket). 

Pejuang tersebut cerita bahwa ada ratusan pemuda dari Madiun yang berangkat ke Surabaya. Sebagian besar naik kereta, sebagian lagi naik truk. Tapi yang paling mengharukan, sebagian yang ngga bisa keangkut kereta atau truk ngga mau nunggu lama-lama, mereka bertekad jalan kaki atau naik sepeda sampai surabaya (400 km dari madiun). Salah satu yang jalan kaki adalah temennya pejuang tersebut. Akhirnya dia bisa dapet tumpangan kendaraan di kota nganjuk (kira-kira 100 km dari Madiun) setelah seharian berjalan. Bayangkan betapa kuatnya tekad mereka untuk berjuang (menjemput maut) sampai rela berkorban seperti itu.

Yang ngga bisa berangkat kayak pejuang diatas karena harus menjaga gudang amunisi, nyumbang apa aja yang bisa dikasih ketemen-temennya yang berangkat... ya senjata, ya uang, ya baju, ya sepatu.. pokoknya apa aja yang bisa dikasih. Kata pejuang tadi, sepanjang jalan utama antara Madiun - Surabaya.. banyak ibu-ibu duduk di pinggir jalan sambil menawari makanan dan minuman bagi para pejuang yang tengah dalam perjalanan ke surabaya..

Mereka rela menjadi tiada untuk membuat kita ada...

No comments:

Post a Comment