Cerita Menarik & Lucu Dibalik Pertempuran Heroik 10 Nopember 1945 Surabaya (2)
Mari kita lanjut kecerita selanjutnya, session kedua. Bagi yg belum membaca session pertama, bisa klik disini...
Lanjut...
Kisah # 3: Evolusi Warna Celana Pasukan TRIP
Pada
saat menjelang atau awal pertempuran 10 Nopember, sebagian pasukan TRIP
memperoleh celana seragam berwarna khaki (kayak kopi susu muda gitu).
Bagi para anggota TRIP yang masih muda-muda, celana itu merupakan
kebanggaan, dan sekaligus merupakan celana andalan, karena jarang yang
punya ganti. Maklum situasi ekonomi sulit. Kalau pun dicuci (ini sangat
jarang dilakukan), terpaksa nunggu kering untuk dapat dipakai lagi…..
Karena gencarnya pertempuran,
celana itu jarang di cuci. Bagaimana sempat nyuci celana, lha wong
Sekutu tiada henti membomi Surabaya. Belum lagi celana itu sangat sering
dipakai untuk tiarap atau merayap di tanah saat bertempur. Maka secara
evolusi, warna celana itu pun berubah. Kalau semula berwarna khaki
lambat laun warna celana itu menjadi kehitaman. Apalagi banyak
diantaranya yang coba-coba melakukan trik “ajaib” dengan secara sengaja
membenamkan di lumpur sungai, biar lebih awet katanya. Entahlah, dari
mana ide konyol membenamkan celana di lumpur sungai berasal. Tapi tidak
sedikit yang mengikutinya.
Itulah yang bisa disediakan oleh Republik saat itu bagi para pejuangnya....
= = =
Kisah # 4: Waspada Jika Terdengar “Wes…ewes…ewez...!”
Sebelum
pecah pertempuran 10 Nopember 1945, sebagian besar pejuang dalam perang
Surabaya adalah masyarakat sipil biasa, yang sebelumnya mungkin
hanyalah tukang jual soto, pedagang dipasar, penarik becak atau dokar,
atau pelajar seperti yang tergabung dalam TRIP. Pokoknya semua yang
merasa kuat menenteng senjata, maju menantang pasukan Inggris yang baru
saja menang Perang Dunia ke-2, termasuk pasukan Gurkha yang katanya
hebat dalam bertempur. Satu-satunya unit bersenjata yang terlatih dan
memiliki persenjataan yang cukup lengkap hanyalah Polisi Istimewa (PI).
Asal-usul mereka juga
macem-macem, hampir segala suku di Indonesia terwakili: Jawa, Madura,
Ambon, Batak, Manado, Bali, pokoknya macam-macam suku yang saat itu
tinggal di Surabaya. Belum lagi laskar-laskar yang berasal dari beberapa
daerah di Jawa Timur sendiri yang mengalir masuk ke Surabaya untuk
memberikan dukungan. Kesemuanya memiliki satu tekad yang sama: lawan
Inggris..! sebagai perwujudan kongkrit apa yang disampaikan secara
bergelora oleh Bung Tomo dalam pidatonya.: “...Selama banteng-banteng
Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain
poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita
maoe menjerah kepada siapapoen djuga!” Hanya ibu-ibu, orang tua dan
anak-anak yang diungsikan ke luar Surabaya. Sisanya ya..itu tadi,
meleburkan diri dalam pelbagai kelompok perlawanan rakyat.
Keadaanlah yang memaksa mereka
untuk segera menyesuaikan diri, belajar bertempur sebisa mereka, dengan
senjata apa saja yang mereka miliki (termasuk mungkin pedang dan keris
warisan kakek buyut mereka). Semuanya bondo nekad (bonek. Eh, jangan
samakan mereka dengan bonek supporter Persebaya ya?) karena tidak sudi
tanah tercinta diinjak-injak penjajah, seberapa pun kuat militer mereka.
Akibat kemampuan teknis tempur mereka pas-pasan, sering terjadi insiden
yang mengenaskan. Misalnya, saat mencoba menembakkan mortir ke arah
Undaan Kulon (nama sebuah tempat di Surabaya), dimana posisi musuh
berada, tembakan arek-arek Suroboyo malah melenceng ke arah Undaan Wetan
dimana sebagian teman perjuangan bertahan !
Namun seiring berjalannya waktu,
arek-arek Suroboyo, para pejuang muda yang pemberani itu mulai ngerti
cara berperang, termasuk mulai bisa memperkirakan jarak sebuah mortir
atau bom yang akan meledak. Jika terdengar suara bersiutan :
”Siuuutttt……” arek-arek Suroboyo masih bersikap tenang karena itu
berarti mortir atau bom masih jauh dari mereka. Tapi kalau sudah
mendengar ”wesz…ewesz….!” rame-rame mereka segera tiarap atau mencari
perlindungan karena itu berarti mortir atau bom sudah mendekat ke arah
mereka.
Boleh juga pembelajaran yang mereka peroleh !
= = =
Kisah # 5: Mbok-mbok dan Mbak-Mbak yang Berjasa Besar Agar Para Pejuang tidak Loyo
Selain
arek-arek Suroboyo yang terlibat langsung dalam pertempuran melawan
Inggris, peran sejumlah Mbok-mbok (ibu-ibu) dan Mbak-mbak selama
pertempuran 10 Nopember 1945 tidak dapat diabaikan. Selain sebagai
tenaga medis yang merawat para pejuang yang terluka, yang tak kalah
penting adalah peran mereka di dapur umum.
Seperti dikisahkan oleh seorang
pemudi yang waktu itu ikut berjuang dengan pemuda-pemuda di Surabaya.
Waktu itu ia adalah salah seorang yang pada pertempuran 10 Nopember
turut terlibat dalam pertempuran sebagai tenaga di dapur umum.
Saat itu umur dia belumlah
mencapai 20 tahun. Dia sengaja tidak ikut mengungsi keluar dari Surabaya
meski dia tahu bom, mortir, atau tembakan senapan mesin Inggris tidak
pandang bulu apakah pejuang bersenjata ataukah mbok-mbok renta. Dia
sengaja tetap tinggal di Surabaya, dengan mengambil resiko yang sangat
besar, karena ingin turut membela kehormatan dan kemerdekaan bangsa.
Waktu ditanya apakah dia tidak
takut, dia mengatakan: ”Tentu saja ada rasa takut, lha wong bom Inggris
jedhar-jedher nggak kenal waktu dan tempat.”. Alasan dia untuk tetap
tinggal dengan mengesampingkan rasa takutnya adalah: ”Sak’no arek-arek
sing melu perang iku. Arek-arek iku wis totoan nyowo ngadepi Inggris,
gak tentu istirahat utowo turune, mosok dijarno luwe”. (Kasihan para
pemuda itu. Para pemuda itu sudah bertaruh nyawa menghadapi Inggris
dengan tak tentu istirahat atau tidurnya, masak dibiarkan kelaparan).
Sederhana, namun berkat peran para Mbok-mbok dan mbak-mbak diseantero
Surabaya diseluruh lini pertempuran, arek-arek Suroboyo sanggup
memberikan pelajaran yang sangat pahit kepada pasukan Inggris yang
sebagian diantaranya baru saja memenangkan pertempuran brutal di El
Alamein
Dari dapur umum, logistik
kemudian merembes ke lini-lini pertahanan arek-arek Suroboyo agar mereka
tidak loyo karena kelaparan saat bertempur melawan pasukan Inggris.
Mengenai bahan pangan, menurut
beberapa sumber, kiriman beras atau bahan pangan lainnya untuk para
pejuang berasal dari kota-kota sekitar Surabaya seperti Pasuruan,
Probolinggo atau daerah lainnya di Jawa Timur. Bantuan-bantuan itu
(termasuk bantuan personel tempur) kian memperkuat semangat mereka dalam
menghadapi Inggris, karena mereka tahu bahwa saudara-saudara sebangsa
mereka, tidak membiarkan mereka berjuang sendirian menghadapi makelar
penjajah Belanda (Inggris) yang pingin menjarah kembali kemerdekaan
Indonesia..
Pertempuran 10 Nopember memang
seperti Selametan kampung, semua ikut serta, tidak mau ketinggalan
dengan pelbagai peran mereka. !
Bersambung...
No comments:
Post a Comment