Lanjut...
Kisah#12: Tidurlah Sekarang ! Besok Inggris Tidak Akan Memberi Kesempatan Kalian untuk Tidur
Mengetahui
bahwa rakyat Indonesia di Surabaya mendapat ultimatum dari pasukan
Inggris, pemerintah pusat nampaknya juga bingung mau bersikap bagaimana.
Tidak mungkin bagi Bung Karno untuk meminta rakyat Surabaya menyerah
dan mematuhi ultimatum Inggris. Sementara itu, pemerintah pusat juga
tahu betapa tidak seimbang kekuatan senjata dan pengalaman tempur
tentara reguler Inggris dengan arek-arek Suroboyo yang sebagian besar
adalah warga kampung biasa. Akhirnya, setelah buntu semua jalan untuk
mencegah Surabaya diserang habis-habisan oleh Inggris, pemerintah pusat
menyerahkan pada para pemimpin di Jawa Timur untuk mengambil keputusan.
Maka Gubernur Surjo mengambil
kepemimpinan dengan berbicara di radio: “.....Untuk mempertahankan
kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad
yang satu, yaitu berani mengahadapi segala kemungkinan. Berulang-ulang
telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: lebih baik hancur dari pada
dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris
kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum
itu…..Bismillahhirrohmanirrohim.....Selamat Berjuang !”
Pidato Gubernur Surjo yang
memang sudah ditunggu-tunggu oleh rakyat Surabaya dan Jawa Timur itu
merupakan perintah jelas dan penegasan bagi arek-arek Suroboyo untuk
mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa, at any cost !
Menyusul pidato Gubernur Surjo
itu, kota Surabaya seperti hendak menyambut pesta besar. Gema takbir
terdengar dimana-mana berselang-seling dengan pekik kemerdekaan:
dijalan-jalan, di mushola, di masjid, di warung-warung,
dikampung-kampung, dipinggir Kali Mas, dan dimana saja tiap kali sesama
elemen pejuang dan rakyat Surabaya bertemu. Semuanya merupakan tanda
kesiapan lahir dan batin, kesatuan tekad, dan keiklasan yang dalam untuk
menghadapi perang besar, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh
rakyat Surabaya.
Semenjak pidato Gubernur Surjo
itu, kota Surabaya kian hiruk pikuk oleh persiapan terakhir oleh
arek-arek Suroboyo. Koordinasi dan komunikasi diantara elemen perjuangan
ditingkatkan. Barikade-barikade untuk menghambat gerakan tank-tank
Inggris diperkuat. Posisi-posisi strategis diperkuat. Pasukan-pasukan
disebar di seluruh lini pertahanan. Bedil, mortir, panser (yang cuma
beberapa biji), dan meriam (yang cuma beberapa pucuk) di periksa.
Demikian juga dengan pedang, clurit, golok, keris juga diperiksa atau
diasah lagi untuk memastikan bahwa senjata-senjata tajam itu cukup tajam
saat disabetkan ke tubuh pasukan Inggris. Anak-anak, orang tua, dan
warga perempuan diungsikan keluar dari kota untuk mengurangi korban
sipil.
Bagi sebagian besar anggota
TRIP, saat-saat usai pidato Gubernur Surjo adalah saat-saat yang sungguh
mendebarkan. Banyak diantara mereka yang tidak bisa tidur untuk
menghadapi pertempuran besar esok hari. Para remaja pejuang itu, yang
masih bujangan, seperti hendak mau jadi pengantin saja. Berdebar tak
sabar untuk segera bertemu sang mempelai. Guyonan seperti ”Koyok arep
nikah ae rek ! Gak iso turu. Pingin ndang ketemu calon bojo” (Seperti
hendak menikah aja Rek ! Tidak bisa tidur ingin cepat bertemu dengan
calon istri) terdengar diantara mereka. Calon penganten yang dimaksud
anggota TRIP itu tentu saja bukanlah perempuan gemulai nan cantik. Namun
pasukan Inggris yang sangar dengan mesin perangnya yang mengerikan.
Bahkan salah seorang pimpinan
TRIP mencoba mengingatkan teman-temannya untuk tidur agar bisa
istirahat. ”Rek ! Turuo koen iku. Simpen tenogomu kanggo sesok. Inggris
sesok gak bakalan ngekek’i kesempatan kanggo koen enak-enakan turu !”
(Rek ! Tidurlah kalian. Simpan tenaga kalian buat besok. Inggris besok
tidak bakalan memberi kesempatan kalian enak-enakan tidur).
Esok harinya, yang ditemukan
oleh pasukan Inggris bukanlah barisan rakyat Surabaya yang datang dengan
bendera putih ditangan untuk takluk kepada Inggris dengan tanpa
perlawanan, namun ribuan pejuang bersenjata yang sudah siap di seluruh
kota dengan segala macam persenjataan yang dimiliki. Inggris benar-benar
kecele !
= = =
Kisah#13: Tentara Belanda "Gembeng" (Cengeng)
Setelah
beberapa saat saling berhadap-hadapan di Kali Porong, arek-arek
Suroboyo memutuskan untuk memperluas medan pertempuran dengan bergeser
ke arah Selatan (arah ke Malang). Suatu ketika di daerah Pandaan, sebuah
unit kecil pasukan Belanda berhasil disergap dengan cantik. Selain
menewaskan beberapa serdadu Belanda totok, seorang Belanda totok juga
bisa ditangkap hidup-hidup. Prajurit itu masihlah sangat muda. Lebih tua
dikit dari anggota TRIP. Rupanya, serdadu Belanda itu gentar juga
dikerubuti anggota TRIP yang nampak sangar, karena jarang mandi dan
jarang ganti baju.
Seragam tempur serdadu Belanda,
lengkap dengan sepatu botnya, ternyata membuat ngiler sebagian anggota
TRIP. Karena seragam TRIP tidak sebanding dibanding dengan seragam
serdadu Belanda. Maka dengan motivasi pingin memiliki seragam dan sepatu
bot serdadu Belanda, dan memberi pelajaran kepada Belanda totok yang
dengan lancang telah berani menginjakkan kakinya di Indonesia, maka
serdadu itu dipaksa untuk mencopot seragam berikut sepatu botnya. Hanya
celana kolor yang masih boleh dipakai.
Mendapat perlakuan seperti itu
serdadu Belanda itu pun….menangis ketakutan. Kini giliran anggota TRIP
yang kaget dan keheranan. Tentara bule kok gembeng (cengeng). Berani
pula hendak menjarah kemerdekaan bangsa lain. Mungkin karena jengkel
melihat tentara itu menangis, salah seorang anggota TRIP menjitak kepala
tentara cengeng itu sembari mengatakan. ‘Nek gembeng yo ojok melu
perang !!” (kalau cengeng ya jangan ikut perang !!”
Belakangan serdadu Belanda totok
itu ditukar dengan tawaan pejuang Indonesia yang ditawan Belanda,
karena sangat merepotkan menawan Belanda totok. Selain dia mengurangi
persediaan pangan pasukan yang susah payah disumbangkan oleh penduduk
juga...dia gak bisa makan menu para pejuang : nasi tiwul dan singkong
rebus…!
= = =
Kisah#14: Nasib Pasukan Gurkha
Pada
saat mendarat pertama kali di Surabaya, ada kesepakatan antara Mallaby
dengan para pemimpin arek-arek Suroboyo bahwa pasukan Inggris hanya
diijinkan paling jauh 800 meter dari pelabuhan dalam upaya mereka ngurus
tawanan perang Jepang.
Namun ternyata kesepakatan ini
dilanggar oleh Mallaby. Mungkin Mallaby menganggap remeh pemerintahan
Indonesia di Surabaya. Maka tidak dapat dihindari lagi, terjadi
gesekan-gesekan dilapangan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan
Inggris.
Pasukan Inggris, terutama Gurkha
dan Pasukan India yang non-muslim (karena ada juga pasukan India Muslim
yang kelak menjadi Pakistan dan sering membantu arek-arek Suroboyo
dengan memberi senjata dan amunisi), seringkali bertindak kurang ajar
dan kejam terhadap arek-arek Suroboyo. Sering sekali mereka melakukan
sweeping dan kemudian merampas senjata-senjata yang dibawa oleh
arek-arek Suroboyo saat bertemu dijalan. Bahkan jika ada arek Suroboyo
yang menolak menyerahkan senjatanya, pasukan Inggris main tembak saja.
Akibatnya, kemarahan para
pejuang kian tinggi sehingga diputuskan untuk menyerang pos-pos pasukan
Inggris, terutama yang berada di area di luar jarak 800 meter sesuai
kesepakatan (sungguh fair play arek-arek Suroboyo itu, meski dibuat
marah, mereka masih menghormati kesepakatan yang dibuat oleh para
pemimpinnya). Arek-arek Suroboyo yang marah menyerang seluruh pos
pasukan Inggris, termasuk Gurkha. Arek-arek Suroboyo nampaknya punya
perhitungan tersendiri terhadap pasukan Gurkha ini. Mereka inilah yang
paling kurang ajar dan paling kejam diantara pasukan Inggris. Sebagian
arek-arek Surabaya tahu reputasi dan pengalaman tempur Gurkha, tapi so
what gitu lho? Tidak ada rasa takut atau segan sedikitpun untuk
bertempur melawan pasukan Gurkha. Clurit orang Madura tidak kalah
mematikan dengan pisau kukri Gurkha.
Sejarah kemudian mencatat,
pos-pos pasukan Inggris itu dibuat morat-marit. Pertahanan mereka jebol
dimana-mana akibat gelombang serangan arek-arek Suroboyo yang bertempur
dengan trengginas. Pasukan Inggris yang masih selamat lari
terbirit-birit kembali ke induk pasukan untuk menyelamatkan diri. Bahkan
dengan meninggalkan jenasah teman-teman mereka. Naas bagi jenasah
pasukan Gurkha yang tidak sempat dievakuasi. Sebagian arek-arek
Suroboyo, mungkin karena situasi yang panas dan dendam yang membara,
membuang sebagian jenasah pasukan Gurkha itu ke Kali Mas. Belum cukup
disitu, sebagian arek-arek Suroboyo itu kemudian menjadikan jenasah yang
terapung di kali itu sebagai titis-titisan (sasaran untuk latihan
menembak).
Apa boleh buat, itulah
peperangan yang akan selalu ada sisi-sisi kekejaman. Pasukan Gurkha
telah menuai buah pahit dari bibit kekejaman dan permusuhan yang mereka
tebar di Surabaya. Gurkha boleh saja membanggakan reputasi tempur mereka
saat melawan Jepang, tapi saat melawan arek-arek Suroboyo, yang mereka
ejek dengan sebutan “mob” atau milisi kelas Tiga, hanya tinta kelam
memalukan yang mereka torehkan.
note : Gurkha pada saat itu
adalah pasukan elit yg sangat disegani dan ditakuti. Hingga saat inipun
reputasi pasukan ini masih sangat mengerikan, ini terbukti karena
pasukan Gurkha masuk kedalam 10 besar pasukan elit dunia dan Gurkha
berada diurutan ke-9.
Klo menurut gue kasian bgt
yah..!!! masa pasukan elit kalah ma milisi yg kgak pernah perang
sebelumnya, mau ditaruh dimana tuh muka, di ember..???
No comments:
Post a Comment