(Verse 1)
Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid
To fall
But watching you stand alone
All of my doubt
Suddenly goes away somehow
One step closer
(Chorus)
I have died everyday
waiting for you
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a
Thousand years
I'll love you for a
Thousand more
(Verse 2)
Time stands still
beauty in all she is
I will be brave
I will not let anything
Take away
What's standing in front of me
Every breath,
Every hour has come to this
One step closer
(Chorus)
I have died everyday
Waiting for you
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a
Thousand years
I'll love you for a
Thousand more
And all along I believed
I would find you
Time has brought
Your heart to me
I have loved you for a
Thousand years
I'll love you for a
Thousand more
One step closer
One step closer
(Chorus)
I have died everyday
Waiting for you
Darlin' don't be afraid,
I have loved you for a
Thousand years
I'll love you for a
Thousand more
And all along I believed
I would find you
Time has brought
Your heart to me
I have loved you for a
Thousand years
I'll love you for a
Thousand more
Thursday, August 30, 2012
Friday, August 24, 2012
Pertumbuhan dan Perkembangan pada Tumbuhan
Pertumbuhan dan Perkembangan pada Tumbuhan
Pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan berbiji diawali dengan pertemuan antara sel kelamin jantan dan kelamin betina, menjadi biji, berkecambah, tumbuh menjadi tanaman kecil yang sempurna, dan berlanjut tumbuh dan berkembang menjadi tumbuhan dewasa. Tumbuhan dewasa akan berbunga dan berbuah. Pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan terjadi di bagian-bagian tertentu, misalnya ujung akar dan batang. Pertumbuhan yang terjadi pada bagian tersebut dikenal dengan pertumbuhan terminal.A. Pertumbuhan Terminal
Pada ujung akar dan ujung batang tumbuhan berbiji yang sedang aktif tumbuh, terdapat tiga daerah pertumbuhan dan perkembangan. Ketiga daerah tersebut adalah daerah pembelahan, daerah pemanjangan, dan daerah diferensiasi.
Pada ujung batang biji yang berkecambah, terdapat daerah pembelahan, pemanjangan, dan diferensiasi.
1. Daerah Pembelahan.
Daerah pembelahan merupakan daerah yang paling ujung. Pada daerah ini terutama terjadi pembentukan sel-sel baru melalui pembelahan sel. Sel-sel di daerah pembelahan memiliki inti sel yang relatif besar, berdinding tipis, dan aktif membelah diri. Daerah pembelahan disebut pula daerah merismatik.
2. Daerah Pemanjangan.
Daerah pemanjangan merupakan hasil pembelahan sel-sel meristem di daerah pembelahan. Sel-sel hasil pembelahan tersebut akan bertambah besar ukurannya, sehingga membentuk daerah pemanjangan. Sel-sel di daerah ini berukuran jauh lebih besar dibandingkan sel-sel meristem.
3. Daerah Diferensiasi.
Daerah diferensiasi terletak di belakang daerah pemanjangan. Sel-sel di daerah ini telah berubah bentuk sesuai fungsinya. Sebagian sel mengalami diferensiasi menjadi epidermis, korteks, empulur, xilem, dan floem. Sebagian sel lagi mengalami diferensiasi menjadi jaringan parenkim (jaringan dasar), jaringan penunjang seperti kolenkim dan sklerenkim, dan sebagainya. Dengan terjadinya diferensiasi sel, maka terbentuklah berbagai jaringan tumbuhan yang menyusun organ tumbuhan.
Pertumbuhan pada tumbuhan dapat dibedakan menjadi pertumbuhan primer dan pertumbuhan sekunder.
Daerah pembelahan, pemanjangan, dan diferensiasi pada akar.
Pertumbuhan Primer.Pertumbuhan primer merupakan pertumbuhan yang disebabkan oleh kegiatan titik tumbuh primer. Titik tumbuh primer terdapat pada ujung akar atau ujung batang.
Pertumbuhan primer pada ujung batang dan ujung akar.
Titik tumbuh primer telah mulai terbentuk sejak tumbuhan masih berupa
embrio. Ujung akar dan ujung batang tempat terjadinya pertumbuhan
merupakan daerah meristem apikal. Pertumbuhan primer menyebabkan batang
akan bertambah panajng.Pertumbuhan Sekunder.
Pertumbuhan sekunder merupakan pertumbuhan yang disebabkan oleh kegiatan jaringan kambium. Jaringan kambium bersifat meristematik, yaitu sel-selnya aktif membelah diri. Kambium hanya terdapat pada tumbuhan dikotil dan Gymnospermae. Pertumbuhan sekunder menyebabkan diameter batang bertambah besar. Jadi, tumbuhan yang memiliki kambium mengalami pertumbuhan sekunder.
B. Metagenesis pada Tumbuhan
Metagenesis merupakan pergiliran daur hidup antara generasi yang bereproduksi secara seksual dan generasi lainnya yang bereproduksi secara aseksual. Biasanya kedua generasi ini berbeda morfologinya.
Metagenesis pada tumbuhan yang bisa kita lihat dengan jelas yaitu pada tumbuhan lumut dan paku memiliki generasi seksual (generatif) yang disebut generasi gametofit dan generasi aseksual (vegetatif) yang disebut generasi sporofit.
Tumbuhan lumut yang sering kita lihat merupakan generasi gametofit. Generasi sporofitnya tergantung pada gametofit untuk memperoleh nutrisi. Sedangkan tumbuhan paku yang sering kita lihat merupakan generasi sporofit. Generasi gametofitnya yaitu protalium
Saturday, August 4, 2012
Lingkungan Sosial Budaya
Lingkungan Sosial Budaya
Manusia adalah makhluk hidup yang dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial. Sebagai makhluk biologis,
makhluk manusia atau “homo sapiens”, sama seperti makhluk hidup lainnya yang
mempunyai peran masing-masing dalam menunjang sistem kehidupan. Sebagai makhluk
sosial, manusia merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat secara
berkelompok membentuk budaya.
Ada perbedaan mendasar tentang asal mula manusia, kelompok
evolusionis pengikut Darwin menyatakan bahwa manusia berasal dari kera yang
berevolusi selama ratusan ribu tahun, berbeda dengan kelompok yang menyanggah
teori evolusi melalui teori penciptaan, yang menyatakan bahwa manusia itu
diciptakan oleh Allah.
Pemahaman tentang hidup dan kehidupan, itu tidak mudah. Makin
banyak hal yang Anda lihat tentang gejala adanya hidup dan kehidupan, makin
nampak bahwa hidup itu sesuatu yang rumit. Pada individu dengan organisasi yang
kompleks, hidup ditandai dengan eksistensi vital, yaitu: dimulai dengan proses
metabolisme, kemudian pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, dan adaptasi
internal, sampai berakhirnya segenap proses itu bagi suatu “individu”. Tetapi
bagi “individu” lain seperti sel-sel, jaringan, organ-organ, dan sistem
organisme yang termasuk dalam alam mikroskopis, batasan hidup adalah tidak
jelas atau samar-samar.
Kehidupan adalah fenomena atau perwujudan adanya hidup, yang
didukung tidak saja oleh makhluk hidup (biotik), tetapi juga benda mati
(abiotik), dan berlangsung dalam dinamikanya seluruh komponen kehidupan itu.
Ada perpaduan erat antara yang hidup dengan yang mati dalam kehidupan. Mati
adalah bagian dari daur kehidupan yang memungkinkan terciptanya kehidupan itu
secara berlanjut.
Makhluk hidup bersel satu adalah makhluk yang pertama berkembang.
Jutaan tahun kemudian kehidupan di laut mulai berkembang. Binatang kerang
muncul, lalu ikan kemudian disusul amphibi. Lambat laun binatang daratan
berkembang pula muncul reptil, burung dan binatang menyusui. Baru kira-kira 25
juta tahun yang lalu muncul manusia kemudian berkembang berkelompok dalam
suku-suku bangsa seperti saat ini, dan hampir di setiap sudut bumi ditempati
manusia yang berkembang dengan cepat.
Lingkungan hidup adalah suatu konsep holistik yang berwujud di
bumi ini dalam bentuk, susunan, dan fungsi interaktif antara semua pengada baik
yang insani (biotik) maupun yang ragawi (abiotik). Keduanya saling mempengaruhi
dan menentukan, baik bentuk dan perwujudan bumi di mana berlangsungnya
kehidupan yaitu biosfir maupun bentuk dan perwujudan dari kehidupan itu
sendiri, seperti yang disebutkan dalam hipotesa Gaia. Lingkungan hidup yang
dimaksud tersebut tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, oleh karena itu yang
dimaksud dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup manusia.
Permasalahan Lingkungan Hidup
Belum ada definisi tentang lingkungan sosial budaya yang
disepakati oleh para ahli sosial, karena perbedaan wawasan masing-masing dalam
memandang konsep lingkungan sosial budaya. Untuk itu digunakan definisi kerja
lingkungan sosial budaya, yaitu lingkungan antar manusia yang meliputi:
pola-pola hubungan sosial serta kaidah pendukungnya yang berlaku dalam suatu
lingkungan spasial (ruang); yang ruang lingkupnya ditentukan oleh keberlakuan
pola-pola hubungan sosial tersebut (termasuk perilaku manusia di dalamnya); dan
oleh tingkat rasa integrasi mereka yang berada di dalamnya.
Oleh karena itu, lingkungan sosial budaya terdiri dari pola
interaksi antara budaya, teknologi dan organisasi sosial, termasuk di dalamnya
jumlah penduduk dan perilakunya yang terdapat dalam lingkungan spasial
tertentu.
Lingkungan sosial budaya terbentuk mengikuti keberadaan manusia di
muka bumi. Ini berarti bahwa lingkungan sosial budaya sudah ada sejak makhluk
manusia atau homo sapiens ini ada atau diciptakan. Lingkungan sosial budaya
mengalami perubahan sejalan dengan peningkatan kemampuan adaptasi kultural
manusia terhadap lingkungannya.
Manusia lebih mengandalkan kemampuan adaptasi kulturalnya
dibandingkan dengan kemampuan adaptasi biologis (fisiologis maupun morfologis)
yang dimilikinya seperti organisme lain dalam melakukan interaksi dengan
lingkungan hidup. Karena Lingkungan hidup yang dimaksud tersebut tidak bisa
lepas dari kehidupan manusia, maka yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah
lingkungan hidup manusia.
Rambo menyebutkan ada dua kelompok sistem yang saling berinteraksi
dalam lingkungan sosial budaya yaitu sosio sistem dan ekosistem. Sistem sosial
tersebut meliputi: teknologi; pola eksploitasi sumber daya; pengetahuan;
ideologi; sistem nilai; organisasi sosial; populasi; kesehatan; dan gizi.
Sedangkan ekosistem yang dimaksud meliputi tanah, air, udara, iklim, tumbuhan,
hewan dan populasi manusia lain. Dan interaksi kedua sistem tersebut melalui
proses seleksi dan adaptasi serta pertukaran aliran enerji, materi, dan
informasi.
STRUKTUR
DAN FUNGSI EKOSISTEM
Struktur Ekosistem
Manusia sebagai mahluk sosial, tidak dapat hidup
secara individu, selalu berkeinginan untuk tinggal bersama dengan
individu-individu lainnya. Keinginan hidup bersama ini terutama berhubungan
dalam aktivitas hidup pada lingkungannya. Manusia mempunyai kedudukan khusus
terhadap lingkungannya dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya, yaitu sebagai
khalifah atau pengelola di atas bumi.
Manusia dalam hidup berkelompok ada yang membentuk
masyarakat, dan tidak setiap kelompok dapat disebut masyarakat, karena
masyarakat mempunyai syarat-syarat tertentu sebagai ikatan kelompok. Masyarakat
dapat diartikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu
rasa identitas bersama.
Dinamika masyarakat memberikan kesempatan
kebudayaan untuk berkembang, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada
kebudayaan tanpa masyarakat, dan tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan sebagai
wadah pendukungnya.
Azas-azas dan ciri-ciri kehidupan berkelompok
pada mahluk hidup, juga dijalani oleh manusia dalam bermasyarakat.
Fungsi Ekosistem
Kebudayaan dapat diartikan dengan hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil
kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan yang harus di dapatnya dengan
belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Tidak ada
kebudayaan tanpa masyarakat, dan tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pola tingkah laku
dan pola bertingkah laku, baik secara eksplisit maupun implisit, yang diperoleh
dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas
dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda
materi.
Kebudayaan mencakup ruang lingkup yang luas,
yang wujudnya dapat berupa kebudayaan hasil rasa atau sistem budaya (norma,
adat istiadat), hasil cipta (fisik) dan konsep tingkah laku (sistem sosial).
Kebudayaan dimulai sejak adanya mahluk Homo
Neanderthal (ras manusia yang sudah punah) kurang lebih 200.000 tahun yang
lalu. Mahluk ini diperkirakan sudah mempunyai bahasa, dengan volume otak yang
hampir sama dengan manusia. Kemudian muncul mahluk homo sapiens kurang lebih
80.000 tahun yang lalu. Dua unsur yang memungkinkan kebudayaan manusia bisa
berevolusi adalah bahasa dan akal.
Perkembangan kebudayaan berkembang sangat lamban
dimulai dari adanya mahluk Neanderthal hingga revolusi pertanian (10.000 th.
yang lalu), tetapi sejak revolusi industri (abad 18 M), kebudayaan berkembang
dengan pesat. Lebih-lebih zaman sekarang (abad 20) yang ditandai dengan
gencarnya inovasi teknologi; era informasi; peluang ekonomi yang tak
terbayangkan sebelumnya; dan reformasi politik yang radikal dan berdampak
global. Sehingga ada kecenderungan berbudaya gaya internasional. Perkembangan
budaya ini dipengaruhi oleh alam pikiran yang menjadikan tahapan perkembangan
dalam budaya mitis, ontologis, dan fungsional.
Begitu banyak unsur-unsur budaya yang ada di
dunia ini, namun ada unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal, yaitu
tujuh unsur kebudayaan meliputi: bahasa; sistem pengetahuan; organisasi sosial;
sistem peralatan hidup dan teknologi; sistem mata pencaharian hidup; sistem
religi; dan kesenian. Ketujuh unsur budaya ini terintegrasi sebagai satu
kesatuan yang utuh dalam suatu masyarakat sebagai ciri dari suatu budaya
melalui proses penyesuaian, sehingga memungkinkan unsur-unsur tersebut
berfungsi secara seimbang. Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, integrasi
sosial sebagai usaha untuk menjalin hubungan yang serasi.
KOMUNITAS, POPULASI, DAN SPESIES
Komunitas
Kota adalah salah satu habitat manusia yang
merupakan lingkungan alam yang telah berubah drastik menjadi lingkungan buatan,
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Batasan kota bervariasi tergantung dari
sudut pandang pengamat.
Pola lokasi kota bervariasi karena banyak
faktor-faktor yang mempengaruhi. Sedangkan untuk struktur ruang kota, ada tiga
pola ruang kota yaitu berupa lingkaran konsentris, pola sektor, dan pola inti
ganda.
Memahami kehidupan dan lingkungan hidup kota tak
ubahnya kita memahami jasad hidup, yaitu jasmani kota dan rohani kota. Jasmani
kota ada yang berupa metabolisme kota, peredaran makanan atau darah kota,
sistem syaraf kota, dan tulang-tulang struktur kota yang berupa infrastruktur.
- Kota mempunyai fungsi-fungsi khusus (satu kota bisa berbeda dengan fungsi kota yang lain).
- Mata pencaharian penduduknya di luar agraris (non-agraris).
- Adanya spesialisasi pekerjaan warganya.
- Kepadatan penduduk relatif tinggi.
- Warganya relatif mobility.
- Tempat permukiman yang tampak permanen.
- Sifat-sifat warganya yang heterogen, kompleks, hubungan sosial yang impersonal dan external, serta personal segmentation, karena begitu banyaknya peranan dan jenis pekerjaan seseorang dalam kelompoknya sehingga seringkali orang tidak kenal satu sama lain, seolah-olah seseorang menjadi asing dalam lingkungannya.
Kota mempunyai fungsi tertentu yang berbeda
antara satu dengan kota lainnya. Perbedaan tersebut akan menghasilkan karakter
tertentu pula bagi penduduknya. Terciptalah pula suatu masyarakat yang
mempunyai ciri-ciri sosial budaya yang berbeda dengan masyarakat di luarnya,
antara satu kota dengan kota lainnya.
Populasi
Pengertian desa sebagai tempat permukiman sangat
beragam tergantung dari kacamata pengamatnya, bisa ditinjau dari aspek morfologi,
aspek jumlah penduduk, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya serta aspek
hukum.
Masyarakat desa selalu dikonotasikan dengan ciri
tradisional, kuatnya ikatan dengan alam, eratnya ikatan kelompok, guyup rukun,
gotong royong, alon-alon asal kelakon, dan paternalistik.
Pada umumnya mata pencaharian penduduk di
perdesaan adalah bercocok tanam atau bertani. Ada pekerjaan lain seperti
bertukang, kerajinan atau pekerjaan lain, tetapi pekerjaan ini merupakan
pekerjaan sambilan sebagai pengisi waktu luang.
Pembagian kerja di desa relatif sederhana bila
dibandingkan dengan kota. Struktur sosial di kota mengenal diferensiasi yang
luas sedangkan di perdesaan relatif sederhana. Di perdesaan orang lebih
menghayati hidupnya, terutama pada kelompok primer dan berorientasi pada
tradisi, serta cenderung konservatif.
Pola ruang desa-desa Indonesia cukup bervariasi
tergantung dari di mana lokasi desa itu berada, yaitu: Pola Melingkar; Pola
Mendatar; Pola Konsentris; Pola memanjang jalur sungai atau Jalan; Pola Mendatar;
dan Pola Konsentris Desa di Jawa Timur.
MANUSIA
DAN LINGKUNGAN HIDUP
Kedudukan Manusia dalam Lingkungan Hidup dan Dinamika Populasi
Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang
dinamis, yang meliputi hubungan antara masing-masing individu; antara kelompok
maupun antara individu dengan kelompok.
Melihat interaksi manusia dapat dilihat dalam
dua tingkat (kacamata), yaitu tingkat hayati dan tingkat sosial atau budaya.
Interaksi sosial tidak akan terjadi bila tidak
memenuhi dua syarat, yaitu: (1) Adanya kontak sosial (social-contact); (2)
adanya komunikasi (communications). Dan menurut ahli-ahli sosial bentuk-bentuk
interaksi sosial dapat berupa kerja sama (co-operation), persaingan
(competition), pertentangan atau pertikaian (conflict), dan dapat juga
berbentuk akomodasi (accommodation).
Menurut kacamata ahli ilmu alam, dasar proses
interaksi manusia adalah kompetisi. Kompetisi itu pada hakekatnya berlangsung
dengan proses kerjasama yang spontan dan tidak berencana, membentuk apa yang
disebut koperasi yang kompetitif. Sebagai akibat timbullah apa yang disebut
relasi yang simbiotik.
Relasi simbiotik itu dalam bentuk mutualisme,
komensalisme, amensalisme, kompetisi, parasitisme, dan predasi.
Interaksi pada makhluk hayati terjadi secara
netral, untuk keseimbangan ekosistem itu sendiri. Interaksi sosial pada manusia
tidak terjadi secara netral, ada norma-norma moral manusia. Dalam interaksinya
dengan lingkungan cenderung antroposentrik, sehingga membuka peluang manusia
untuk bersifat eksploitatif terhadap lingkungannya. Tetapi dengan memadukan
sikap imanen dan transenden sebagai dasar moral dan tanggung jawab dalam
memanfaatkan alam sifat eksploitatif dapat lebih terkendali.
Lingkungan Hidup Buatan
Untuk memahami perilaku atau tingkah laku
manusia dapat ditelusuri melalui persepsi manusia terhadap lingkungannya.
Persepsi adalah stimulus atau sesuatu yang dapat memberikan rangsangan pada
syaraf, yang ditangkap oleh panca indera serta diberi interpretasi (arti) oleh
sistem syaraf.
Dalam melihat persepsi ini ada dua pendekatan
yaitu pendekatan konvensional dan pendekatan ekologis dari Gibson.
Usaha menjelaskan perilaku sebagai ungkapan
persepsi dapat dilihat dari interaksi antara rangsangan (stimulus) terhadap
reaksi (respons). Beberapa aliran hubungan Stimulus – Response antara manusia
dengan lingkungannya, adalah: aliran determinisme; interaksionisme; dan
transaksionisme.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
persepsi seseorang terhadap lingkungannya, adalah faktor obyek fisik dan faktor
individu. Hasil interaksi individu dengan obyek fisik menghasilkan persepsi
individu tentang obyek tersebut.
Sedangkan respon manusia terhadap lingkungannya
bergantung pada bagaimana individu mempersepsikan lingkungannya. Respon ini
dapat dilihat dari gejala-gejala persepsi mereka terhadap ruang sebagai
lingkungan tempat tinggalnya, yaitu meliputi personal space, privacy,
territoriality, crowding dan density, peta mental, serta stress.
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Sumber Daya Alam Secara Umum
Pembangunan adalah sebagai suatu usaha atau
rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara
sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka
pembinaan bangsa.
Konsep pembangunan tersebut dapat dilihat
sebagai konsep pertumbuhan (growth); rekonstruksi (reconstruction); modernisasi
(modernization); westernisasi (westernization); pembangunan bangsa (nation
building); pembangunan nasional (national development); pembangunan sebagai
pengembangan negara; dan pembangunan sebagai upaya pemenuhan hidup, kebebasan
memilih dan harga diri.
Di Indonesia teori pembangunan dijabarkan
sebagai konsep pembangunan bertahap yaitu: pembangunan berimbang (balanced
development); tahap pembangunan memenuhi kebutuhan pokok; tahap pembangunan
dengan pemerataan; dan terakhir adalah tahap pembangunan dengan kualitas hidup,
yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia. Dengan strategi yang diterapkan adalah Trilogi
Pembangunan meliputi: pertumbuhan ekonomi; pemerataan kesejahteraan sosial; dan
stabilitas politik. Jika kita lihat tahapan pembangunan pada teori pembangunan
tersebut di atas, terlihat bahwa Indonesia pun mengikuti tahapan pembangunan
tersebut.
Konsekuensi pembangunan adalah melakukan
perubahan sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup. Sedangkan perubahan baik
pada lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya ini berdampak positif dan
negatif.
Neraca pembangunan yang terjadi saat ini
dirasakan tidaklah menggembirakan. Di satu sisi ada kemajuan, di lain sisi
ditemukan kerusakan lingkungan yang secara serius akhirnya mengganggu kehidupan
manusia dan kelangsungan pembangunan itu sendiri. Hal ini tidak hanya terjadi
di negara-negara berkembang, yang sedang giat-giatnya membangun, tetapi juga di
alami oleh negara-negara maju.
Oleh karena itu, muncullah konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) sebagai upaya meleburkan atau
melarutkan lingkungan ke dalam pembangunan, yaitu dengan tetap berusaha atau
membangun tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya.
Setelah permasalahan lingkungan dirasakan dapat mengganggu kehidupan manusia
dan kelangsungan pembangunan itu sendiri.
Sumber Daya Alam Terbarui
Perubahan sosial adalah suatu perubahan yang
terjadi pada sistem sosial yang mencakup tata nilai sosial, sikap, dan pola
perilaku kelompok. Perubahan sosial merupakan perubahan kelembagaan masyarakat
dan perubahan individu.
Ada lima bentuk perubahan sosial, yaitu: (1)
perubahan evolusioner; (2) perubahan revolusioner; (3) perubahan dialektikal;
(4) perubahan dipaksakan; dan (5) perubahan terkendali.
Sedangkan perubahan bentuk perubahan budaya
adalah: (1) Alkulturasi; (2) Asimilasi; (3) Difusi; (4) Sinkretisme; dan (5)
Penetrasi.
Dalam konteks pengelolaan lingkungan, masyarakat
tradisional lebih bersandar pada penyesuaian masyarakat pada lingkungannya.
Sedangkan masyarakat modern mengandung lebih banyak unsur yang berkaitan dengan
mengatasi atau mengubah kendala lingkungan hidup.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan dapat dibagi dalam 2 sifat yaitu perubahan endogenik (perubahan dari
dalam), dan perubahan exogenik (dari luar).
Pada umumnya perubahan dari luar akan mempunyai
dampak yang lebih besar, dan lebih banyak berhubungan dengan aspek pembangunan,
serta bersifat revolusioner. Walaupun demikian tidak berarti bahwa perubahan
dari dalam tidak bisa serius.
Di dalam suatu masyarakat yang sedang membangun,
perlu terjadi suatu perubahan sosial yang diberi nama modernisasi. Modernisasi
dapat diartikan sebagai penerapan pengetahuan ilmiah yang ada pada semua
aktifitas, semua bidang kehidupan, atau semua aspek-aspek masyarakat. Untuk
mendukung modernisasi perlu suatu tata nilai modern pada individu, yang
mencakup kualitas pribadi dan tersebarnya pengetahuan ilmiah serta keterampilan
teknis. Tata nilai modern pada individu harus melembaga pula pada suatu
kelembagaan sosial yang modern. Mana yang menjadi unsur utama, para ahli masih
belum ada kesepakatan.
Dari pengalaman pembangunan di Dunia Ketiga,
diketahui bahwa modernisasi tanpa didukung oleh perubahan sosial tidaklah
efektif. Oleh karena itu, perubahan sosial hendaknya memperhatikan nilai
teologi etis atau teologi pembebasan dan bersifat suatu perubahan sosial yang
baru atau pembaruan yang dibawa oleh tokoh-tokoh agen pembaruan.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembangunan Konvensional dan Permasalahan Lingkungan Hidup
Pendudukan dan lingkungan hidup berkaitan erat.
Keprihatinan tentang masalah kependudukan sebetulnya telah lama dirasakan.
Sekarang keprihatinan itu telah meningkat kembali setelah kita sendiri menjadi
lebih sadar tentang berbagai dampak pertumbuhan penduduk yang tak terkendalikan
di negara kita sendiri.
Bersamaan dengan meningkatnya kesadaran
lingkungan hidup, telah meningkat pula kesadaran tentang kaitan antara
lingkungan hidup dengan aspek kependudukan.
Bagi lingkungan sosial, masalah kependudukan dan
lingkungan hidup merupakan unsur atau komponen dari masalah lingkungan sosial,
yaitu masalah perubahan sosial di segala segi kehidupan, akibat perubahan dari
segi material dan teknologi yang lebih cepat dari pada laju perubahan dari segi
tata nilai atau gaya hidup.
Oleh karena itu, untuk menanggapi masalah
kerusakan lingkungan hidup, pola hidup penduduk harus berubah sehingga tumbuh
masyarakat yang mampu menopang suatu pembangunan yang dapat memperbaiki mutu
kehidupan manusia dengan tetap berusaha tidak melampaui kemampuan ekosistem
yang mendukung kehidupannya.
Untuk menumbuhkan masyarakat yang seperti itu,
perlu dikembangkan prinsip etika (prinsip pertama dari prinsip-prinsip
berkelanjutan) yang mengindahkan semangat gotong royong. Di atas prinsip gotong
royong dikembangkan empat prinsip berkelanjutan, yaitu:
- Prinsip meningkatkan kualitas hidup. Pembangunan ini baru berarti jika meningkatkan kualitas hidup dalam segala seginya;
- Prinsip melestarikan vitalitas dan keanekaragaman bumi agar pembangunan bisa berlanjut;
- Prinsip minimalisasi penciutan sumberdaya alam yang tidak diperbarui; dan
- Prinsip mengindahkan daya dukung lingkungan.
Kualitas hidup yang tinggi, yang memperhatikan
ekologi berkelanjutan sebagai hasil dari pembangun yang berkelanjutan,
memerlukan indikator-indikator sebagai alat untuk mengukur kemajuan ke arah
masyarakat yang berkelanjutan. Mencakup: kualitas hidup; keberlanjutan ekologi;
keberlanjutan penggunaan sumber daya terbarukan dan meminimumkan penggunaan
sumberdaya tak terbarukan; dan faktor sosial ekonomi.
Konsep Pembangunan yang Berkelanjutan
Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan seperti di
laut, hutan, atmosfer, air, tanah, dan seterusnya bersumber pada perilaku
manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri
sendiri. Oleh karena itu, krisis lingkungan ini hanya bisa diatasi dengan
melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang
fundamental dan radikal melalui etika lingkungan yang dibutuhkan untuk menuntun
manusia berinteraksi dengan alam semesta.
Ada dua pemahaman tentang etika, yaitu etika
yang dipahami sebagai moral dan etika yang dipahami dalam pengertian yang
berbeda dengan moralitas, sehingga mempunyai pengertian yang lebih luas dan
merupakan refleksi kritis bagaimana manusia harus bertindak dalam situasi
konkret dan situasi tertentu melalui penelusuran kritis teori etika deontologi,
etika teleologi, dan etika keutamaan.
Sedangkan etika lingkungan di sini dipahami
sebagai disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang
mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip
moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam.
Berbagai teori etika lingkungan dapat menjelaskan pola perilaku
manusia dalam kaitan dengan lingkungan. beberapa teori etika lingkungan ini
merupakan perkembangan pemikiran di bidang etika lingkungan, yaitu Shallow
Environmental Ethic, Intermediate Environmental Ethic, dan Deep Environmental
Ethic. Ketiga teori ini dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan
ekosentrisme. Ketiga teori ini mempunyai cara pandang yang berbeda tentang
manusia, alam, dan hubungan manusia dengan alam.
Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal dan Hisab
Kategori: Ramadhan
58 Komentar // 21 Juli 2010
Menentukan awal ramadhan
dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:
- Melihat hilal ramadhan.
- Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Melihat Hilal Ramadhan
Dasar dari hal ini adalah firman
Allah Ta’ala,
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di
antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الشَّهْرُ
تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua
puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa
hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi
tiga puluh hari.”[1]
Menurut mayoritas ulama, jika
seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan,
beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَاءَى
النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى
رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berusaha untuk
melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan
orang-orang agar berpuasa.”[2]
Sedangkan untuk hilal syawal mesti
dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا
وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena
melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena
melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian,
sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan
berbukalah kalian.”[3] Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang
saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan
cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar
yang telah lewat.[4]
Menentukan Awal Ramadhan
dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab
Perlu diketahui bersama bahwasanya
mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan
sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal
hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata
telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi
contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat
ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[5] dan tidak pula mengenal hisab[6]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat
dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[7]
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah
menerangkan,
“Tidaklah mereka –yang hidup di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit
dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan
kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu.
Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang
setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika
kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa
hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang
dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga kalian tidak
bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi
30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan,
“Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah
supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.
Sebagian kelompok memang ada yang
sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum
Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al
Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama salaf
(yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk
meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab
(yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam
elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya
sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan
sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh
akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu
ini kecuali sedikit”.[8]
Apabila pada Malam
Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal
Apabila pada malam ketigapuluh
Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka
bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
Salah seorang ulama Syafi’i, Al
Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita
untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya
adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk
menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan
bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak
pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi
keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang
yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”[9]
Puasa dan Hari Raya
Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Jika salah seorang atau satu
organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh
penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam
masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu pendapat menyatakan bahwa
ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia
melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi[10] agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di
negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu
pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di
antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya menyatakan bahwa
hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal
yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di
negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang
masyhur dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat yang terakhir
menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus
berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari
pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ
يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala
mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian
beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul
adha.”[11] Ketika menyebutkan hadits tersebut,
Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan
hadits
ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah
(yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”
Pendapat terakhir ini menjadi
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat
dari Imam Ahmad.[12] Pendapat inilah pendapat yang kami nilai
lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah
sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang
telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
“Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush
shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang
tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di
langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang
banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara
lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia.
Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua
orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang
lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai
orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita
keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti
mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”[13]
Beliau rahimahullah mengatakan
pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda
waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi
kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka
bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar
dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum
syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan
syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang
hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)[14]
Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan,
“Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar
diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10
orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak
nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak
memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya.
Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul
Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu
pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya.
Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ
يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ
تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala
mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian
beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”
Imam Ahmad –dalam salah satu
pendapatnya- berkata,
يَصُومُ
مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian
dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal
dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ
اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para
jama’ah kaum muslimin”.[15]
Jika Satu Negeri Melihat
Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya ketika di Saudi sudah
melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah
masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?
Berikut kami nukilkan keterangan
dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal
Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin
dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam
menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari
‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa.
Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini
sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam
penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi
ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan
perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum
muslimin?
Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap
tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika.
Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak
hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah
ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya
hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda
matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak
teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki
dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan
oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil
dengan firman Allah,
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di
antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang
hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil
dengan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat
hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Perbedaan pendapat menjadi dua kubu
semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil.
Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh
karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari
dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu
negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah
negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di
negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada
keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih
suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri
tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut
bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri
tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam
berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[16
Dari artikel Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal dan Hisab — Muslim.Or.Id by null
Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal dan Hisab
Kategori: Ramadhan
58 Komentar // 21 Juli 2010
Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab
Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”.[8]
Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal
Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”[9]
Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi[10] agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[12] Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”[13]
Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,
Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
Imam Ahmad juga mengatakan,
Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?
Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?
Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,
Begitu juga firman Allah,
Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[16
- Melihat hilal ramadhan.
- Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ،
فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan
Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan
apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”[1]Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ
وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku
beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku
telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang
agar berpuasa.”[2]Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena
melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal-
itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh
hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[3]
Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal
Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi
karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.[4]Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab
Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[5] dan tidak pula mengenal hisab[6]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[7]Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka
sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti
menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di
tengah-tengah mereka.Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”.[8]
Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal
Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”[9]
Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi[10] agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[11] Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits
ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama
jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia
(masyarakat)”. ”Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[12] Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”[13]
Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit).
Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)[14]Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin
lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca
cerah atau mendung.”Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.[15]Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?
Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?
Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di
negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit).
Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[16
Subscribe to:
Posts (Atom)